Perjalanan mudik itu sungguh melelahkan. Rasa letih tidak terkira. Beradu dengan waktu dan debu. Asap kenalpot mengepul dan menyembur kewajah. Hitam legam dibuatnya. Bau apek, menjadi ciri khasnya. Jika capek sudah melanda, istirahat dimanapun jadi. sekedar untuk merebahkan badan dan menghilangkan rasa kantuk. Di cungkup keranda bahkan diatas batu nisan hal biasa, terasa dihotel. Empuk. Kencing pun masih diarea semak-semak kuburan. Edan !
Dikampungku, mercon masih menjadi budaya. Bahkan menjadi kegengsian. Tanpa mercon kurang meriah. Bubuk mercon mahalpun masih diburu. Demi merakit mercon sendiri. Ternyata, cara membuat mercon sangatlah mudah. Alatnya sederhana, kertas bekas dan bambu. Mercon segedhe paha anak remaja menjadi primadonanya. Seusai sholat id, megelegar. Antar kampung suaranya saling bertautan-tautan. Adu pamer !
Kesalahan pemudik dimana ? Menurut ahli ekonom. Perputaran uang di Indonesia, 80 persen berada di Jakarta. Dengan adanya budaya mudik diharapkan mampu menggairahkan perekonomian desa. Tapi apa kenyataanya ? Saat pemudik tiba di kampung, belanjanya di swalayan dan mini market nota benenya yang punya orang Jakarta. Otomatis uangnya kembali ke Jakarta bukan ? Dampak mudik untuk desa kurang nendang. Ah, Bumi sok jadi pengamat ekonomi.