Kadang saya merasa gimana gitu, membaca keluh-kesah teman-teman dimedia sosial. Media sosial hanya menjadi tempat umpatan/caci-maki dan keluh-kesah. Tidak ada status/timeline yang menyatakan bersyukur atau berterimakasih. Apa sudah menjadi jamannya, media sosial kini menjadi tembok ratapan ? Menjadi tempat sampah beban kehidupan ? Saya sendiri juga kurang mengerti.
Fasilitas streaming media sosial juga menjadi adu nyali. Tapi dalam hal negatif, putus cinta langsung membuat siaran langsung, menunjukan kepada penonton, menyanyat-nyanyat tangannya dengan sebilah pisau, darah mengalir dengan derasnya. Dia begitu bangganya, hanya sesekali suara sesenggukan. Menggambarkan derita hatinya. Betapa cintanya sama sang mantan. Ah saya hanya bisa menjadi penonton.
Yang sudah bekerja, juga mengeluh tentang gajinya. Kerja berat tidak seimbang dengan imbalan yang didapatkan tiap bulannya. Kalau sudah sesuai dengan upah minimum regional, apalagi yang dituntut ? Apakah dia tidak menyadari, diluar sana banyak pengangguran yang siap menggantikan posisinya ? Banggalah, berangkat-pulang kerja bisa mengenakan seragam dinas kerjanya. Beda dengan diri saya, tiap hari hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Dekil, sudah begitu bau ketek pula!
Bahkan ada yang mengatain, saya ini orang gila. Otak kurang se-ons katanya. Lah mau gimana lagi, emang kerjaan saya itu seorang blogger dan vlogger. Memotret dan membuat video. Kedua hal itu, yang tiap hari saya geluti. Kemudian saya olah di depan komputer. Demi mengais recehan dolar.
Saya yang mencari rezeki lewat dunia maya, dengan susah-payahnya. Selalu mencoba untuk bersyukur. Setiap pekerjaan atau profesi selalu ada aral-melintangnya. Ya, dinikmati saja selama itu masih menghasilkan dan bisa mencukupi kebutuhan hidup. Selebihnya, berihtiar-berihtiar terus dan serahkan hasilnya pada Tuhan. Adem rasanya !