Saat aku menulis kisah ini, aku terbaring sakit. Pikiran dan badanku, ringkih. Rapuh tidak berdaya. Terkapar. Terkadang aku berpikir dan bertanya, terbuat dari apakah jiwa dan ragaku ini. Kenapa tidak bisa kokoh setiap menghadapi persoalan asmara. Mudah sekali goyah. Terombang-ambing. Melepaskanmu, begitu berat. Terkoyak oleh rindu dan cemburu. Patah hati setelah kau pergi. Sepi dan teriris dalam hati.
Kepergianmu, melumpuhkan akal dan kewarasanku. Melupakanmu tidak semudah hembusan angin menggugurkan dedaunan. Melupakanmu tidak semudah dentuman ombak menerjang pepasiran. Melupakanmu tidak semudah hujan menghempaskan debu jalanan. Tidak semudah itu melupakanmu karena kau masih menari-nari dalam ingatanku.
Kepergianmu, melumpuhkan akal dan kewarasanku. Melupakanmu tidak semudah hembusan angin menggugurkan dedaunan. Melupakanmu tidak semudah dentuman ombak menerjang pepasiran. Melupakanmu tidak semudah hujan menghempaskan debu jalanan. Tidak semudah itu melupakanmu karena kau masih menari-nari dalam ingatanku.
Aku ingat saat kau menangis, merayu untuk bertemu. Kau menyimpan rindu menggebu. Dan kau ingin melepaskan hasrat yang mengekang dalam tubuhmu. Aku masih ingat itu. Setelah semua terbayarkan, setelah semua terlunaskan, kau tertawa kegirangan. Sumringah raut wajahmu. Senyumanmu melebar, tanda bahagia. Kemudian, kita duduk santai ditepi kolam. Memberi umpan dan makan segerombalan ikan.
Kisah yang tidak pernah usai, ada keinginan untuk mengulang cerita itu. Ingin sekali melewati lorong-lorong gelap yang pernah kita lalui. Kadang aku ingin memastikan, apakah kau masih ada disana. Masih setia menungguku. Mengulang apa yang pernah kita lakukan, rindu, cemburu dan bercumbu.