Jogjakarta, cerah. Langit berwarna biru sedikit tersapu tipis awan putih. Tidak biasanya aku betah berlama-lama duduk didepan jendela, sambil menatap ke angkasa. Hal yang jarang sekali aku lakukan. Kupandangi langit, dan pikiranku pun menerawang jauh. Menelusuri rimbanya masa lalu. Aku tebas rumput sedikit demi sedikit, yang menghalangi pemandangku. Aku sibakkan, rerantingan yang melintang. Aku harus berjalan mengendap-ngendap, aku atur nafas agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Ketenangan hati dan pikiranku harus tetap terjaga. Jangan sampai terusik akan keindahan masa lalu. Masa yang telah lama terlewati. Masa yang begitu romantis bersama sang mantan. Walau semua harus berakhir memilukan. Meninggalkan duka, menggoreskan lara. Lara yang tidak pernah mengering. Sedikit tergores, darah kepedihan mengalir kembali. Bau amis dan tengiknya menyesakan hati. Semua karena aku terlalu mencintaimu. Cinta yang terlalu berlebihan, dan berakhir dengan kecewa.
Masih aku ingat betapa lembutnya kulitmu. Wangi parfummu membangkitkan gairahku. Suaramu meluluh-lantahkan kegaranganku. Dihadapanmu aku tidak berdaya, selalu ingin dimanja. Aku menemukan betapa indahnya surga. Sebuah taman yang membuatku selalu ingin bersemayam. Aku betah disana, enggan untuk pulang.
Aku terus mengintip langit demi langit sang mantan. Semakin jauh, semakin aku tahu keberadaan dan berita sang mantan. Tetesan air yang semula aku kira gerimis ternyata adalah tangisan sang mantan. Ya, sang mantan lagi dirundung kegalauan. Kelelahan hati. Gelisah memikirkan suaminya yang pergi. Minggat, pergi tidak mau kembali.
Aku tarik nafas sejenak, dan tiba-tiba ribuan laron menyerbu kepalaku. Seakan-akan mewakali pertanyaan yang ada dipikiranku. Kenapa lelaki yang kau cintai hanya bertahan sejenak. Setahun setelah pernikahan, lelaki itu meninggalkamu. Sudah tiga kali pernikahan, kau mengalami hal serupa. Bernasib sama. Ada apa dengan dirimu ? Pertanyaan yang tidak aku temukan jawabannya. tetap menjadi misteri.
Setelah kau campakan hatiku. Setelah kau kandaskan harapanku untuk memilikimu, sampai saat ini pun aku masih membujang. Masih sendiri. Apakah kau memang ditakdirkan menjadi jodohku ? Seandainya, iya, betapa tidak adilnya Tuhan.
"Mandi-mandi, jadi lelaki kerjannya hanya melamun saja. Dasar bujang lapuk", Ocehan emakku membangunkan lamunanku. Aku terjatuh dari langit, lama sekali ruh untuk kembali ke sajadku. Aku tertatih-tatih, walau akhirnya aku sadar juga. Emakku, memang mudah marah, malu sama tetangga, punya anak lelaki belum kawin juga. Ah emak !